Model Pembelajaran Think Pair and Share menggunakan metode diskusi
berpasangan yang dilanjutkan dengan diskusi pleno. Dengan model pembelajaran
ini siswa dilatih bagaimana mengutarakan pendapat dan siswa juga belajar
menghargai pendapat orang lain dengan tetap mengacu pada materi/tujuan
pembelajaran.
Langkah-Langkah Pembelajaran
- Guru menyampaikan inti materi
- Siswa berdiskusi dengan teman sebelahnya tentang
materi/permasalahan yang disampaikan guru
- Guru memimpin pleno dan tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
- Atas dasar hasil diskusi, guru mengarahkan pembicaraan pada
materi/permasalahan yang belum diungkap siswa
- Kesimpulan
Think Pair Share (TPS) merupak an suatu teknik sederhana dengan
keuntungan besar. Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan kemampuan siswa
dalam mengingat suatu informasi dan seorang siswa juga dapat belajar dari siswa
lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di
depan kelas. Selain itu, Think Pair Share (TPS) juga dapat memperbaiki rasa
percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
kelas. Think Pair Share (TPS) sebagai salah satu metode pembelajaran kooperatif
yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu thinking, pairing, dan sharing. Guru tidak
lagi sebagai satu-satunya sumber pembelajaran (teacher oriented), tetapi justru
siswa dituntut untuk dapat menemukan dan memahami konsep-konsep baru (student
oriented).
Hambatan yang ditemukan selama proses pembelajaran antara lain
berasal dari segi siswa, yakni: siswa-siswa yang pasif, dengan metode ini
mereka akan ramai dan mengganggu teman-temannnya. Tahap pair siswa yang
seharusnya menyelesaikan soal dengan berdiskusi bersama pasangan satu bangku
dengannya tetapi masih suka memanfaatkan kegiatan ini untuk berbicara di luar
materi pelajaran, menggantungkan pada pasangan dan kurang berperan aktif dalam
menemukan penyelesaian serta menanyakan jawaban dari soal tersebut pada pasangan yang lain. Jumlah siswa di kelas juga berpengaruh terhadap
pelaksanaan metode think pair share ini. Jumlah siswa yang ganjil berdampak
pada saat pembentukan kelompok. Akibatnya terdapat kelompok yang beranggotakan
lebih dari 2 (dua) siswa. Hal ini akan memperlambat proses diskusi pada tahap
pair, karena pasangan lain telah menyelesaikan sementara satu siswa tidak
mempunyai pasangan.
Hambatan lain yang ditemukan yaitu dari segi waktu. Kelemahan lain yang terjadi pada tahap think adalah ketidaksesuaian
antara waktu yang direncanakan dengan pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan siswa
yang suka mengulur-ulur waktu dengan alasan pekerjaan belum diselesaikan. Hal
ini berdampak pada hasil belajar ranah kognitif, yaitu siswa kurang menunjukkan
kemampuan yang sesungguhnya. Metode ini membutuhkan banyak waktu karena terdiri
dari 3 (tiga) langkah yang harus dilaksanakan oleh seluruh siswa yang meliputi
tahap think, pair, share. Untuk mengatasi hambatan dalam penerapan metode
kooperatif think pair share yaitu guru akan berkeliling kelas dengan
mengingatkan kembali tahap-tahap yang harus siswa lalui. Hal tersebut dilakukan
agar siswa tertib dalam melalui setiap tahapnya dalam proses pembelajaran ini.
Guru akan memberikan point pada siswa, jika siswa tersebut mengajukan
pertanyaan, menjawab pertanyaan atau memberikan sanggahan pada tahap share.
Model pembelajaran Think-Pair-Share diharapkan siswa dapat
mengembangkan keterampilan berfikir dan menjawab dalam komunikasi antara satu
dengan yang lain, serta bekerja saling membantu dalam kelompok kecil. Hal ini
sesuai dengan pengertian dari model pembelajaran Think-Pair-Share itu sendiri,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Lie (2002:57) bahwa, “Think-Pair-Share adalah
pembelajaran yang memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri dan
bekerjasama dengan orang lain. Dalam hal ini, guru sangat berperan penting
untuk membimbing siswa melakukan diskusi, sehingga terciptanya suasana belajar
yang lebih hidup, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan demikian
jelas bahwa melalui model pembelajaran Think-Pair-Share, siswa secara langsung
dapat memecahkan masalah, memahami suatu materi secara berkelompok dan saling
membantu antara satu dengan yang lainnya, membuat kesimpulan (diskusi) serta
mempresentasikan di depan kelas sebagai salah satu langkah evaluasi terhadap
kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
Model pembelajaran Think-Pair-Share merupakan salah satu model
pembelajaran kooperatif sederhana yang memiliki prosedur secara eksplisit
sehingga model pembelajaran Think-Pair-Share dapat disosialisasikan dan digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran sejarah di sekolah.
Keunggulan lain dari pembelajaran ini adalah optimalisasi partisipasi siswa.
Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan
hasilnya untuk seluruh kelas, tipe Think-Pair-Share ini memberi kesempatan
sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan
menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Lie, 2004:57).
Di samping mempunyai keunggulan, model pembelajaran
Think-Pair-Share juga mempunyai kelemahan. Kelemahannya adalah: (1) metode
pembelajaran Think-Pair-Share belum banyak diterapkan di sekolah, (2) sangat
memerlukan kemampuan dan ketrampilan guru, waktu pembelajaran berlangsung guru
melakukan intervensi secara maksimal, (3) menyusun bahan ajar setiap pertemuan
dengan tingkat kesulitan yang sesuai dengan taraf berfikir anak dan, (4)
mengubah kebiasaan siswa belajar dari yang dengan cara mendengarkan ceramah
diganti dengan belajar berfikir memecahkan masalah secara kelompok, hal ini
merupakan kesulitan sendiri bagi siswa (Lie : 2004).
Model pembelajaran Think-Pair- Share dikembangkan oleh Frank Lyman
dkk dari Universitas Maryland pada tahun 1985. Model pembelajaran
Think-Pair-Share merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana.
Teknik ini memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja
sama dengan orang lain. Keunggulan teknik ini adalah optimalisasi partisipasi
siswa (Lie, 2004:57). Model pembelajaran Think-Pair-Share adalah salah satu
model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk
menunjukkan partisipasi kepada orang lain.
Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran Think-Pair- Share adalah:
(1) guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan memberikan tugas kepada
semua kelompok, (2) setiap siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut
sendiri, (3) siswa berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompok dan
berdiskusi dengan pasangannya, (4) kedua pasangan bertemu kembali dalam
kelompok berempat. Siswa mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya
kepada kelompok berempat (Lie, 2004: 58). Think-Pair-Share memiliki prosedur
ynag ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk
berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Nurhadi dkk, 2003 :
66). Sebagai contoh, guru baru saja menyajikan suatu topik atau siswa baru saja selesai membaca
suatu tugas, selanjutnya guru meminta siswa untuk memikirkan permasalahan yang
ada dalam topik/bacaan tersebut.
Langkah-langkah dalam pembelajaran Think-Pair-Share sederhana,
namun penting trutama dalam menghindari kesalahan-kesalahan kerja kelompok
(http: // home. att-net/_clnetwork/think ps.htm). Dalam model ini, guru meminta
siswa untuk memikirkan suatu topik, berpasangan dengan siswa lain dan
mendiskusikannya, kemudian berbagi ide dengan seluruh kelas. Tahap utama dalam
pembelajaran Think-Pair-Share menurut Ibrahim (2000: 26-27) adalah sebagai
berikut:
Tahap 1 : Thingking (berpikir)
Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan
pelajaran. Kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut
secara mandiri untuk beberapa saat.
Tahap 2 : Pairing
Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa lain untuk
mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Dalam tahap ini,
setiap anggota pada kelompok membandingkan jawaban atau hasil pemikiran mereka
dengan mendefinisikan jawaban yang dianggap paling benar, paling meyakinkan,
atau paling unik.
Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan.
Tahap 3 : Sharing (berbagi)
Pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan
seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Keterampilan berbagi
dalam seluruh kelas dapat dilakukan dengan menunjuk pasangan yang secara
sukarela bersedia melaporkan hasil kerja kelompoknya atau bergiliran pasangan
demi pasangan hingga sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk
melaporkan.
Langkah ke 1 : Guru menyampaikan pertanyaan
Aktifitas : Guru melakukan apersepsi, menjelaskan tujuan
pembelajaran, dan menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang
akan disampaikan.
Langkah ke 2 : Siswa berpikir secara individual
Aktifitas : Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
memikirkan jawaban dari permasalahan yang disampaikan guru. Langkah ini dapat
dikembangkan dengan meminta siswa untuk menuliskan hasil pemikiranyya
masing-masing.
Langkah ke 3: Setiap siswa mendiskusikan hasil pemikiran
masing-masing dengan pasangan
Aktifitas : Guru mengorganisasikan siswa untuk berpasangan dan
memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang menurut mereka
paling benar atau paling meyakinkan. Guru memotivasi siswa untuk aktif dalam
kerja kelompoknya. Pelaksanaan model ini dapat dilengkapi dengan LKS sehingga
kumpulan soal latihan atau pertanyaan yang dikerjakan secara kelompok.
Langkah ke 4 : Siswa berbagi jawaban dengan seluruh kelas
Aktifitas : Siswa mempresentasikan jawaban atau pemecahan masalah
secara individual atau kelompok didepan kelas.
Langkah ke 5 : Menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan
masalah
Aktifitas : Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap hasil pemecahan masalah ang telah mereka diskusikan.
Kegiatan “berpikir-berpasaangan-berbagi” dalam model
Think-Pair-Share memberikan keuntungan. Siswa secara individu dapat mengembangkan
pemikirannya masing-masing karena adanya waktu berpikir (think time), Sehingga
kualitas jawaban juga dapat meningkat. Menurut Jones (2002), akuntabilitas
berkembang karena siswa harus saling melaporkan hasil pemikiran masing-masing
dan berbagi (berdiskusi) dengan pasangannya, kemudian pasangan-pasangan
tersebut harus berbagi dengan seluruh kelas. Jumlah anggota kelompok yang kecil
mendorong setiap anggota untuk terlibat secara aktif, sehingga siswa jarang
atau bahkan tidak pernah berbicara didepan kelas paling tidak memberikan ide
atau jawaban karena pasangannya.
Menurut Spencer Kagan ( dalam Maesuri, 2002:37) manfaat
Think-Pair-Share adalah: (1) para siswa menggunakan waktu yang lebih banyak
untuk mengerjakan tugasnya dan untuk mendengarkan satu sama lain ketika mereka
terlibat dalam kegiatan Think-Pair-Share lebih banyak siswa yang mengangkat
tangan mereka untuk menjawab setelah berlatih dalam pasangannya. Para siswa
mungkin mengingat secara lebih seiring penambahan waktu tunggu dan kualitas
jawaban mungkin menjadi lebih baik, dan (2) para guru juga mungkin
mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berpikir ketika menggunakan
Think-Pair-Share. Mereka dapat berkonsentrasi mendengarkan jawaban siswa,
mengamati reaksi siswa, dan mengajukan pertanyaaan tingkat tinggi.
Pembelajaran Kooperatif Model Think-Pair-Share
Model Think-Pair-Share tumbuh dari penelitian pembelajaran
kooperatif, model Think-Pair-Share dapat juga disebut sebagai model
belajar-mengajar berpasangan. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Frank
Lyman dari Universitas Maryland pada tahun 1985 (Think-Pair-Share) sebagai
struktur kegiatan pembelajaran gotong royaong. Model ini memberikan siswa
kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerjasama dengan orang lain.
Think-Pair-Share memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk
memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu
satu sama lain. Model Think-Pair-Share sebagai ganti dari tanya jawab seluruh
kelas.
Sebagai suatu model pembelajaran Think-Pair-Share memiliki
langkah-langkah tertentu. Menurut Muslimin (2001: 26) langkah-langkah
Think-Pair-Share ada tiga yaitu : Berpikir (Thinking), berpasangan (Pair), dan
berbagi (Share)
Tahap 1 : Thinking (berpikir)
Kegiatan pertama dalam Think-Pair-Share yakni guru mengajukan
pertanyaan yang berhubungan dengan topik pelajaran. Kemudian siswa diminta
untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara untuk beberapa saat. Dalam tahap
ini siswa dituntut lebih mandiri dalam mengolah informasi yang dia dapat.
Tahap 2 : Pairing (berpasangan)
Pada tahap ini guru meminta siswa duduk berpasangan dengan siswa
lain untuk mendiskusikan apa yang telah difikirkannya pada tahap pertama.
Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat membagi jawaban dengan pasangannya.
Biasanya guru memberikan waktu 4-5 menit untuk berpasangan.
Tahap 3 : Share (berbagi)
Pada tahap akhir guru meminta kepada pasangan untuk berbagi jawaban
dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka diskusikan. Ini efektif
dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai
sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
Keunggulan dari Think-Pair-Share ini adalah optimalisasi
partisipasi siswa. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju
dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, model Think-Pair-Share ini
memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukkan partisipasi mereka
kepada orang lain. Model ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan
untuk semua tingkatan anak didik
Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah: a)
memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
mengenai materi yang diajarkan karena secara tidak langsung memperoleh contoh
pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk
memikirkan materi yang diajarkan b) siswa akan terlatih menerapkan konsep
karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan
kesepakatan dalam memecahkan masalah, c) siswa lebih aktif dalam pembelajaran
karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, dimana tiap kelompok hanya
terdiri dari 2 orang, d) siswa memperoleh kesempatan untuk mempersentasikan
hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar, e)
memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran
(Hartina, 2008: 12). Senada dengan pendapat Hartina, Lie (2005: 46)
mengemukakan bahwa kelebihan dari kelompok berpasangan (kelompok yang teridiri
dari 2 orang siswa) adalah 1) akan meningkatkan pasrtisipasi siswa, 2) cocok
untuk tugas sederhana, 3) lebih banyak memberi kesempatan untuk kontribusi
masing-masing anggota kelompok, 4) interaksi lebih mudah, dan 5) lebih mudah
dan cepat membentuk kelompok. Selain itu, menurut Lie, keuntungan lain dari
teknik ini adalah teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan
untuk semua tingkatan usia anak didik.
Adapun kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah
sangat sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata kemampuan siswanya rendah dan
waktu yang terbatas, sedangkan jumlah kelompok yang terbentuk banyak (Hartina,
2008: 12). Menurut Lie (2005: 46), kekurangan dari kelompok berpasangan
(kelompok yang terdiri dari 2 orang siswa) adalah: 1) banyak kelompok yang
melapor dan perlu dimonitor, 2) lebih sedikit ide yang muncul, dan 3) tidak ada
penengah jika terjadi perselisihan dalam kelompok.
Tahapan-tahapan dalam pembelajaran think-pair-share sederhana,
namun penting terutama dalam menghindari kesalahan dalam kerja kelompok. Dalam
model ini guru meminta siswa untuk memikirkan suatu topik, berpasangan dengan
siswa lain, kemudian berbagi ide dengan seluruh kelas. Adanya kegiatan
berpikir-berpasangan-berbagi dalam metode thinkpair-share memberi banyak
keuntungan. Siswa secara individual dapat mengembangkan pemikirannya
masing-masing karena adanya waktu berpikir (think time) sehingga kualitas jawaban
siswa juga dapat meningkat. Menurut Nurhadi (2003: 65), akuntabilitas
berkembang karena setiap siswa harus saling melaporkan hasil pemikiran
masing-masing dan berbagi dengan seluruh kelas. Jumlah anggota kelompok yang
kecil mendorong setiap anggota untuk terlibat secara aktif, sehingga siswa yang
jarang atau bahkan tidak pernah berbicara di depan kelas paling tidak memberi
ide atau jawaban kepada pasangannya.
Kelebihan metode pembelajaran TPS menurut Ibrahim, dkk. (2000:6):
1. Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas. Penggunaan metode
pembelajaran TPS menuntut siswa menggunakan waktunya untuk mengerjakan
tugas-tugas atau permasalahan yang diberikan oleh guru di awal pertemuan
sehingga diharapkan siswa mampu memahami materi dengan baik sebelum guru menyampaikannya
pada pertemuan selanjutnya.
2. Memperbaiki kehadiran. Tugas yang diberikan oleh guru pada
setiap pertemuan selain untuk melibatkan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran juga dimaksudkan agar siswa dapat selalu berusaha hadir pada
setiap pertemuan. Sebab bagi siswa yang sekali tidak hadir maka siswa tersebut
tidak mengerjakan tugas dan hal ini akan
mempengaruhi hasil belajar mereka.
3. Angka putus sekolah berkurang. Model pembelajaran TPS diharapkan
dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat
lebih baik daripada pembelajaran dengan model konvensional.
4. Sikap apatis berkurang. Sebelum pembelajaran dimulai,
kencenderungan siswa merasa malas karena proses belajar di kelas hanya
mendengarkan apa yang disampaikan guru dan menjawab semua yang ditanyakan oleh
guru. Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar,
metode pembelajaran TPS akan lebih menarik dan tidak monoton dibandingkan
metode konvensional.
5. Penerimaan terhadap individu lebih besar. Dalam model
pembelajaran konvensional, siswa yang aktif di dalam kelas hanyalah siswa
tertentu yang benar-benar rajin dan cepat dalam menerima materi yang
disampaikan oleh guru sedangkan siswa lain hanyalah “pendengar” materi yang
disampaikan oleh guru. Dengan pembelajaran TPS hal ini
dapat diminimalisir sebab semua siswa akan terlibat dengan
permasalahan yang diberikan oleh guru.
6. Hasil belajar lebih mendalam. Parameter dalam PBM adalah hasil
belajar yang diraih oleh siswa. Dengan pembelajaran TPS perkembangan hasil
belajar siswa dapat diidentifikasi secara bertahap. Sehingga pada akhir
pembelajaran hasil yang diperoleh siswa dapat lebih optimal.
7. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi. Sistem
kerjasama yang diterapkan dalam model pembelajaran TPS menuntut siswa untuk
dapat bekerja sama dalam tim, sehingga siswa dituntut untuk dapat belajar
berempati, menerima pendapat orang lain atau mengakui secara sportif jika
pendapatnya tidak diterima.
Kelemahan metode TPS adalah pembelajaran yang baru diketahui,
kemungkinan yang dapat timbul adalah sejumlah siswa bingung, sebagian
kehilangan rasa percaya diri, saling mengganggu antar siswa (Ibrahim,2000:18).