BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Islam
merupakan suatu agama hukum yang peraturannya langsung dibuat oleh Allah swt.,
sehingga setiap sendi kehidupan umat muslim akan berpedoman kepada hukum Islam. Kewarisan
dalam islam yang merupakan salah satu bagian dari kehidupan umat muslim
kemudian diatur dalam Islam melalui ilmu faraid.
Ilmu
faraid merupakan
bagian dari syari’ah Islam yang langsung tercantum dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah Rasullulah saw. Mempelajari ilmu ini adalah suatu kewajiban yang
mesti ditempuh kaum muslimin mengingat ilmu ini merupakan ilmu pertama yang
akan punah dari permukaan bumi. Bahkan
dengan mempelajari ilmu ini kita juga berarti telah menguasai seperdua dari
ilmu pengetahuan milik Allah swt. Namun demikian, keyatannya sedikit orang yang
belajar dan mampu menguasai ilmu ini, hal
ini dikarenakan relatif sedikit orang yang bersedia untuk mempelajarinya.
Selanjutnya, suatu peraturan hukum tidak lahir dengan
sendirinya, ia lahir dengan dilatardepani oleh dasar-dasar filosofi tertentu.
Dasar-dasar filosofi inilah yang kemudian dinamakan dengan “asas hukum”. Secara
sederhana pengertian asas hukum adalah sesuatu yang menjadi dasar, prinsip,
patokan, acuan atau tumpuan umum untuk berpikir atau berpendapat dalam
menyusun, merumuskan, menemukan dan membentuk ketentuan dan peraturan hukum. Dengan demikian suatu peraturan hukum merupakan suatu kongkritisasi
asas hukumnya.
Waris dalam Islam sebagai suatu hukum yang bersumber
dari al-Qur’an dan As-Sunnah tentunya juga mengandung asas-asas hukum sebagai
landasan peraturannya. Bahkan dalam hal-hal tertentu berlaku pula dalam system
kewarisan yang semata-mata bersumber dari akal. Maka dari itu, pada makalah ini
kami memaparkan asas-asas hukum kewarisan islam sekaligus dilengkapi dengan
prinsip, syarat dan unsur-unsur kewarisannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari latar belakang
tersebut, Masalah-masalah yang mendorong penyusunan makalah ini yaitu:
1. Apa saja asas-asas hukum kewarisan Islam?
2. Apa saja prinsip hukum
kewarisan Islam?
3. Apa saja syarat-syarat kewarisan dalam islam?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari Penelitian dan penyusunan
makalah ini yaitu:
1.
Mengetahui
dan memahami asas-asas hukum
kewarisan Islam.
2.
Mengetahui
dan memahami prinsip
hukum kewarisan Islam.
3.
Mengetahui
dan memahami syarat-syarat
kewarisan dalam Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM
Setiap hukum dalam operasionalnya
mempunyai asas sebagai langkah awal penerapan hukum tersebut. Adapun asas-asas hukum kewarisan itulah
adalah:
1. Asas Ijbari (Paksaan)
Yakni,
pemindahan harta dari orang yang telah meninggal kepada ahli waris berlaku
dengan sendirinya, tidak ada individu maupun lembaga yang dapat menangguhkan
pemindahan tersebut. Antara waris dan ahli waris dalam hal ini “dipaksa”
(ijbar) menerima dan membagikan harta warisan sesuai dengan ketentuan bagian
yang ada. Apabila dalam prakteknya, ada seseorang ahli waris yang merasa lebih
cukup daripada pewaris, sehingga merasa tidak memerlukan harta warisan
tersebut, maka dia tetap berkewajiban menerima harta itu, adapun harta tersebut
akan disumbangkan atau keperluan yang lain terserah kepada yang menerima harta
tersebut. Hal yang pokok adalah setelah semua itu diketahui bagian
masing-masing dan diterima ahli waris dengan ikrar yang jelas. Asas ini berlaku hanya jika pewaris sudah meninggal
dunia.[1]
Adanya asas ini dapat dilihat dalam tiga segi, pertama
dari segi peralihan harta, maksudnya kertika pewaris meninggal secara
otomatis harta peninggalan beralih kepada ahli waris. Kedua segi jumlah
harta yang beralih, bahwa bagian hak ahli waris sudah jelas ditentukan sehingga
baik pewaris maupun ahli waris tidak memiliki hak untuk menambah dan
menguranginya. Ketiga segi kepada siapa harta tersebut beralih, dan ini
pula sudah ditentukan dan tidak suatu kuasa manusia pun yang dapat mengubahnya.[2]
Apabila dibandingkan dengan sistem hukum kewarisan
Perdata Barat, jika pewaris meninggal tidak secara otomatis berpindah kepada
ahli waris. Dalam hal ini ahli waris dapat menolak dan menerima harta warisan
yang sudah terbuka.
Dalam pasal 1023 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) dinyatakan “ Jika suatu boedel warisan terbuka, maka seorang ahli
waris diberikan kesempatan hak untuk berpikir akan menerima atau menolak
warisan, dalam jangka waktu selama empat bulan”. Jika sudah lewat jangka waktu
maka dalam pasal 1029 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) ahli waris
dapat memilih tiga pilihan yang telah ditentukan berdasarkan masing-masing
konsekuensinya, yaitu menerima warisan secara murni, menerima warisan secara
tidak murni atau dengna hak istimewa, dan menolak warisannya.[3]
Dengan demikian, waris dalam Perdata Barat tidak memberlakukan asas Ijbari.
Sebaliknya dalam hukum adat, harta peninggalan dapat
bersifat tidak dibagi-bagikan atau pelaksanaan pembagiannya ditunda dalam
jangka waktu yang cukup lama atau hanya sebagian yang dibagikan. Harta
peninggalan yang tidak dibagikan dalam beberapa lingkungan hukum adat disebabkan
harta tersebut merupakan lambang kesatuan dari keluarga tersebut atau barang
tersebut merupakan barang yang tidak dapat dibagi-bagi. Bahkan selama janda
yang ditinggalkan dan anak-anaknya berkumpul masih memerlukan penghidupan,
harta peninggalan tetap tidak dibagikan.[4]
2. Asas Kewarisan Akibat Kematian.
Asas ini menyatakan bahwa perpindahan harta
warisan dari pewaris kepada ahli warisnya terjadi setelah pewaris meninggal
dunia. Perpindahan harta dari pemilik sewaktu masih hidup sekalipun kepada ahli
warisnya, baik secara langsung atau terlaksana setelah pewaris meninggal,
menurut hukum Islam tidaklah disebut pewarisan, tapi mungkin hibah atau jual
beli atau lainnya. Asas kewarisan akibat kematian dapat dikaji dari penggunaan
kata warasa dalam surat an Nisa ayat 11, 12, 176. Pemakaian kata itu
terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut
meninggal dunia. Atas dasar ini hukum kewarisan Islam hanya mengenal kewarisan
akibat kematian semata (yang dalam hukum BW disebut kewarisan ab intestato).
Lain halnya dengan sistem kewarisan Perdata
Barat menyatakan kewarisan terjadi bukan hanya karena kematian saja (Pasal 830
KUHPer) melainkan disebabkan pula adanya pengangkatan ahli waris melalui surat
wasiat (Pasal 954 KUHPer). Jadi dalam system Perdata Barat ahli waris terdiri
atas dua macam, yaitu ahli waris menurut undang-undang yakni ahli waris yang
disebabkan adanya kematian dan ahli waris yang ditunjuk dengan surat wasiat.
Menurut pasal 832 KUHPer ahli waris menurut undang-undang terdiri dari para
keluarga sedarah baik yang sah maupun diluar kawin dan suami atau istri yang
hidup terlama.
Sebaliknya dalam hukum adat, harta kekayaan
milik seseorang dapat dibagikan meskipun pewaris masih hidup demi kelangsungan
kehidupan ahli warisnya, yakni dalam keadaan seperti berikut:
a.
Pembagian
pembekalan semasa hidup pada saat anaknya meninggalkan rumah untuk membentuk
keluarga sendiri (mencar, manjai). Benda-benda yang didapatya sejak awal
menjadi dasar kekayaan materiil keluarga baru dan merupakan bagian harta
warisannya yang kelak akan diperhitungkan pada pembagian kekayaan pasca
orangtuanya meninggal. Pada kenyataannya pembekalan ini memiliki fungsi sebagai
koreksi atas norma hukum kewarisan struktural, tradisional dan dianggap sudah
tidak memiliki rasa keadilan.
b.
Pemilik
harta semasa hidupnya membagikan hartanya dengan cara hibah wasiat dan wekas (weling
atau umanat). Hibah wasiat adalah pewaris semasa hidupnya
menghendaki bagian kekayaan untuk ahli warisnya sejak pewaris meninggal.
Sedangkan wekas atau weling adalah pewaris pada akhir hayatnya
mengemukakan kehendaknya berkenaan dengan hartanya itu kelak.[5]
3. Asas Bilateral-Individual
Terma Bilateral sebagaimana yang
disebutkan oleh Hazairin kalau dikaitkan dengan sistem keturunan berarti
kesatuan kekeluargaan dengan menghubungkan dirinya dalam hal keturunan kepada
pihak ibu dan bapak. Konsep bilateral bila dihubungkan dengan hukum kewarisan
bermakna ahli waris dapat menerima hak warisnya dari kedua belah pihak, baik
pihak kerabat laki-laki maupun perempuan.
Pengertian individual adalah harta
peninggalan pewaris dapat dimiliki secara perorangan oleh ahli warisnya, bukan
dimiliki secara kolektif. Seperti adat masyarakat Minangkabau di Sumatera
Barat.
Dengan demikian yang dimaksud
dengan bilateral individual adalah asas bahwa setiap laki-laki dan perempuan
dapat menerima hak kewarisan dari pihak kerabat ayah maupun ibu. Harta bagian masing-masing
dimiliki secara individual sesuai dengan porsi masing-masing. Asas ini diketahui dari
pengertian tersebut dalam nash pada kelompok ayat kewarisan (Qs. Al-Nisa ayat
7, 11,12,33 dan 176). Inti pengertian ayat-ayat tersebut adalah penegasan bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam mewarisi dari pihak ayah
atau ibu dengan bagian tertentu.[6]
Demikian pula
dalam system kewarisan Perdata Barat menganut juga asas individual sebagaimana
ditegaskan dalam ketentuan pasal 1066 KUHPerdata yang menyatakan setiap ahli
waris mempunyai hak untuk menuntut diadakan pembagian harta warisan sesuai
dengna bagiannya, walaupun pewarisnya belum meninggal dunia. Sedangkan dalam
hukum adat terdapat perbedaan yang sangat mencolok yakni prinsip kolektif. Menurut
prinsip ini ada harta peninggalan nenek moyang yang tidak dapat dibag-bagi dan
harus diterima secara utuh[7]
4. Asas Penyebar-luasan dengan Prioritas di
Lingkup Keluarga
Pembagian warisan mempunyai
kemungkinan untuk menyebar luas, bukan hanya pada taraf anak yang berhak
mendapat harta warisan, tetapi suami, isteri, orang tua, saudara-saudara bahkan
cucu ke bawah, orang tua terus ke atas, dan keturunan saudara-saudara sama-sama
tercakup. Namun demikian, penyebarluasan tersebut tetap dibatasi pada kelompok
keluarga baik sebab pernikahan maupun sebab hubungan keturunan (nasab) yang
sah. Dari sekian perluasan mewarisi dan diwarisi, diantara mereka diadakan
ukuran kedekatan yang akan menentukan bagian masing-masing. Ukuran tersebut
berdasarkan kedekatan hubungan kekeluargaan, kedekatan hubungan kekeluargaan
mempengaruhi garis keutamaan yang mengakibatkan perbedaan jumlah bagian
masing-masing ahli waris.
5. Asas Persamaan Hak dan Perbedaan Bagian
Asas persamaan dalam hukum waris Islam adalah persamaan
dalam hak mewarisi harta ibu bapak dan kerabatnya, persamaan itu dilihat dari
jenis kelamin dan usia tiap-tiap ahli waris. Antara laki-laki dan perempuan
sama-sama berhak untuk mewarisi harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
demikian pula antara orang dewasa dengan anak-anak.
Perbedaan antara ahli waris
terletak pada porsi bagian yang telah ditetapkan al-Qur’an dan al-Hadist.
Perbedaan beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga. Laki-laki
mendapat bagian lebih besar daripada perempuan, sebab secara umum laki-laki
membutuhkan materi yang lebih banyak untuk membelanjai perempuan. Disamping itu
laki-laki juga mempunyai kewajiban ganda, yaitu kewajiban untuk dirinya sendiri
dan kewajiban terhadap keluarganya. Sedangkan anak mendapat bagian lebih banyak
daripada orang tua, sebab anak memikul kewajiban sebagai pelanjut orang tua
untuk meneruskan kehendak, kebutuhan, cita-cita dan eksistensi keluarga.
6. Asas Personalitas ke-Islaman
Asas ini menentukan bahwa peralihan harta
warisan hanya terjadi antara pewaris dan ahli waris yang sama-sama beragama
Islam. Oleh karena itu apabila salah satunya tidak beragama Islam, maka tidak
ada hak saling mewarisi. Asas ini ditarik dari hadis nabi riwayat al-Bukhari
dan Muslim:
لَايَرِثُ الْمُسْلِمُ
الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
B. PRINSIP KEWARISAN ISLAM
Hukum
kewarisan Islam mempunyai prinsip yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Hukum kewarisan Islam menempuh jalan
tengah antara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta
peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang lain yang dikehendaki seperti
yang berlaku dalam masyarakat individualis / kapitalis, dan melarang sama
sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang
tidak mengakui adanya lembaga hak milik perseorangan, yang dengan sendirinya
tidak mengenal sistem kewarisan.
Prinsip
ini menentukan bahwa pewaris diberi hak memindahkan harta peninggalannya kepada
orang yang diinginkan dengan sendirinya tidak mengenal sistem kewarisan.
b. Kewarisan merupakan ketetapan hukum; yang mewariskan
tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya
atas harta peninggalan dan ahli waris berhak atas harta peninggalan tanpa
memerlukan pernyataan
menerima dengan sukarela atau atas putusan pengadilan, tetapi ahli waris tidak
dibebani melunasi hutang
pewaris dari harta pewarisnya.
c. Kewarisan terbatas dalam lingkungan
keluarga, dengan adanya hubungan
perkawinan atau
pertalian darah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris lebih di
utamakan daripada keluarga yang lebih jauh; yang lebih kuat hubungannya dengan
pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih lemah.
d. Hukum kewarisan islam lebih condong
untuk membagi harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris yang sederajat,
dengan menemukan
bagian tertentu kepada beberapa ahli waris. Misalnya, jika ahli waris terdiri
dari ibu, istri, seorang anak perempuan dan saudara perempuan kandung, semuanya
mendapat bagian.
e. Hukum kewarisan islam tidak membedakan
hak anak atas harta peninggalan; anak yang sulung, menengah atau bungsu, telah
besar atau baru saja lahir, telah berkeluarga atau belum, semua berhak atas
harta peninggalan. Namun, besar kecil
bagian harta yang diterima dibedakan sejalan dengan besar kecil beban kewajiban
yang harus ditunaikan dalam kehidupan keluarga.
f. Hukum kewarisan Islam membedakan besar
kecil bagian tertentu ahli waris diselaraskan
dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping memandang jauh
dekatnya hubungan kekeluargaan dengan pewaris.
Bagian
tertentu dari harta peninggalan adalah 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, dan 1/8. Ketentuan
tersebut bersifat tetap karena diperoleh dari Al-Qur’an dan bersifat ta’abudi
yang wajib dilaksanakan mmenurut ketentuan yang ada. Inilah yang melekatkan
nilai keagamaan pada hukum kewarisan
itu.
Atas
dasar adanya ketentuan bagian tertentu bagi ahli waris, dapat disimpulkan bahwa
hukum Kewarisan Islam bersifat individual.
C.
SYARAT KERWARISAN ISLAM
Penetapan dan pembagian waris baru
bisa dilaksanakan bila memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Adanya yang wafat. Tidak berlaku hukum
waris bila pemilik harta itu belum wafat. Yang dimaksdud dengan wafat muwaris
disini, terdiri dari wafat hakiki dan wafat hukmi[8].
Wafat hakiki ialah orang yang punya harta telah diketahui wafat secara
jelas. Sedangkan wafat secara hukmi, ialah orang yang hilang yang tidak
diketahui keberadaannya, tidak ada berita. Kemudian dicari juga tidak
ditemukan, melalui proses hukum dan berdasar penetapan pengadilan dinyatakan
mati secara hukum.
2. Ahli warisnya masih hidup ketika muwaris
wafat. Orang yang meninggal lebih dulu daripada yang meninggalkan harta, tidak
mendapatkan warisan.
3. Benar-benar dapat diketahui adanya
hubungan perwarisan yang buktinya bisa dipertanggung jawabkan, baik tertulis,
administrasi, atau adanya saksi, atau pengakuan dari pihak ahli waris lainnya.
Ini merupakan suatu penegasan yang diperlukan, terutama dalam pengadilan
meskipun secara umum telah disebutkan dalam sebab-sebab warisan.
4. Tidak terdapatnya penghalang waris[9].
Penghalang waris yakni:
·
Berbeda
Agama antara pewaris dan ahli waris. Alasan penghalang ini adalah hadis Nabi
yang mengajarkan bahwa orang Muslim tidak berhak waris harta atas harta orang
kafir dan sebaliknya orang kafir tidak berhak waris atas harta orang Muslim.
Antara
Suami dan Istri yang berlainan agama, misalnya suami beragama Islam dan Istri
beragama Kristen, apabila salah satunya menginginkan agar suami istri dapat
ikut menikmati harta peninggalannya, dapat dilakukan dengan jalan wasiat.
·
Membunuh.
Hadis Nabi yang mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak atas harta peninggalan
orang yang dibunuh. Yang dimaksud dengan membunuh adalah dengan sengaja yang
mengandung unsur pidana, bukan karena membela diri dan sebagainya. Percobaan
membunuh belum dipandang sebagai penghalang warisan.
·
Menjadi
budak orang lain. Budak tidak berhak memiliki sesuatu. Oleh karenanya, ia tidak
berhak waris. (Namun penghalang ini tidak perlu mendapat perhatian, karena
perbudakan sudah lama hilang).
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian dari makalah tersebut, maka dapat
disimpulkan
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam terbagi menjadi:
a.
Asas Ijbari (paksaan)
b.
Asas kewarisan sebab kematian
c.
Asas bilateral-individual
d. Asas Penyebar-luasan dengan Prioritas di
Lingkup Keluarga
e. Asas Persamaan Hak dan Perbedaan Bagian
f.
Asas
Personalitas ke-Islaman
Prinsip-prinsip
kewarisan terbagi menjadi:
a.
Pewaris diberi hak memindahkan harta
peninggalannya kepada orang yang diinginkan dengan sendirinya tidak mengenal
sistem kewarisan
b.
Kewarisan merupakan ketetapan hukum
c.
Kewarisan
terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya
hubungan perkawinan atau
pertalian darah
d.
Hukum
kewarisan islam lebih condong untuk membagi harta warisan kepada sebanyak
mungkin ahli waris yang sederajat
e.
Hukum
kewarisan islam tidak membedakan hak anak atas harta peninggalan
f.
Hukum
kewarisan Islam membedakan besar kecil bagian tertentu ahli waris
diselaraskan dengan kebutuhannya
Syarat-syarat
Hukum Kewarisan Islam terbagi menjadi:
a.
Adanya yang
wafat
b.
Ahli
warisnya masih hidup ketika muwaris wafat
c.
Benar-benar
dapat diketahui adanya hubungan perwarisan yang buktinya bisa dipertanggung jawabkan
d.
Tidak
terdapatnya penghalang waris
DAFTAR
PUSTAKA
Anshori, Ghofur
Abdul. 2010. Filsafat Hukum Kewarisan Islam..
Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Basyir, Ahmad
Azhar. 2009.
Hukum Waris Islam..
Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Saifuddin ASM. 2004. Mukhtashar
Ilmu Warits..
Bandung: CV. Musyarrafah.
Usman Rachmadi. 2009. Hukum Kewarisan Islam: Dalam Dimensi
Kompilasi Hukum Islam.. Bandung: CV. Mandar Maju.
[1] Abdul Ghofur Anshori,2010. Filsafat Hukum Kewarisan Islam,
Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Hal. 34
[2] Rachmadi Usman. 2009.
Hukum Kewarisan Islam: Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV.
Mandar Maju. Hal. 34
[6] Abdul Ghofur Anshori,2010. Filsafat Hukum Kewarisan Islam,
Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Hal. 34-35.
[7] Lihat Rachmadi Usman.
2009. Hukum Kewarisan Islam: Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam. Bandung:
CV. Mandar Maju. Hal. 40 dan 41.
Labels:
Kumpulan Makalah
Thanks for reading Makalah Tentang : Asas-asas Hukum Kewarisan Dalam Islam. Please share...!
0 Comment for "Makalah Tentang : Asas-asas Hukum Kewarisan Dalam Islam"